Selasa, 16 Oktober 2012

ayat 79 an-nisa


Ayat 79
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.”

Di sini Tuhan menyebut engkau, bukan hanya ditujukan kepada Rasul saja, melainkan kepada diri tiap-tiap orang yang mukallaf. Rasul hanya jadi perantara untuk menyampaikan. Yaitu bahwasanya nikmat dan rahmat Allah cukuplah diberikan kepada manusia di ala mini. Tidak ada yang kurang. Sehingga pada asalnya, semuanya adalah baik. Tuhan tidak memberikan yang buruk. Bahkan telah banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa segala sesuatu di alam ini disediakan untuk manusia. Apalagi manusia diberi akal dan disuruh berusaha. Maka jika manusia gagal, maka itu adalah dari diri manusia itu sendiri. Baik karena kesia-siaan, atau masih belum tahu dan belum berpengalaman. Yang terlebih-lebih wajib dijaga oleh manusia adalah supaya dia mensyukuri nikmat Allah.
Kesalahan yang paling besar ialah kalau tidak mensyukuri nikmat. Jiwamu “terbelakang” walaupun telah berlimpah nikmat Allah kepada kamu, namun oleh karena kamu tidak mengenal apa yang disebut dengan syukur nikmat, kamu akan tetap mengeluh. Oleh karena itu janganlah menimpakan kesalahan kepada orang lain, tetapi selidikilah penyakit yang ada dalam jiwamu sendiri.
“Dan kami telah utus kepada manusia seorang rasul.” Maka Rasul itu telah mengajarkan kepada kamu jalan yang baik, cita-cita yang mulia mnegeluarkan kamu dari gelap gulita kepada terang benderang. Selamatlah kamu kalau ajarannya kamu ikuti dan sengsaralah kamu karena tidak menaatinya, bahkan masih meragukan, dan mengeluh.
“Dan cukuplah Allah sebagai penyaksi.” Artinya cukuplah Allah yang menjadi saksi, wahai utusanKu! Allah menjadi saksi bahwa amanat itu telah engkau tunaikan dengan baik. Yaitu memimpin manusia menuju jalan yang benar. Malah penderitaan engkau lebih banyak dan engkau teguh hati, pantang mundur sehingga senanglah Allah menyaksikan segala gerak-gerikmu. Dan tuduhan si lemah iman bahwa jika mereka ditimpa kesusahan, adalah sebab kesalahanmu, tidak lain hanyalah karena kebodohan dan kedangkalan berfikir mereka juga adanya.[1]
Sedangkan dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthub menghubungkan ayat 79 an-Nisa’ ini dengan persoalan “qadha’ dan “qadar” atau “jabar” dan “ikhtiyar”. Sesungguhnya Allah telah membuat manhaj (aturan), membuat jalan, menunjukkan kepada kebaikan, dan melarang keburukan. Maka apabila manusia mengikuti manhaj, menempuh jalan ini, berusaha melakukan kebaikan, dan menjauhi keburukan, niscaya Allah akan menolongnya untuk mendapatkan petunjuk sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami …” (al-‘Ankabut : 69).
Apabila manusia tidak mengikuti manhaj yang telah dibuat Allah, maka ketika itu dia mendapatkan kejelekan yang sebenarnya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kejelekan ini adalah dari dirinya sendiri.[2]
Terwujudnya kebaikan dan kejelekan itu tidak lain kecuali dengan kekuasaan dan qadar Allah, karena dialah yang mengadakan segala sesuatu, yang mengadakan segala yang terjadi, dan menciptakan segala yang ada apa pun kehendak dan tindakan orang yang bersangkutan terhadap apa yang terjadi itu.
Sedangkan urusan manusia terhadap Rasul ialah bahwa orang yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah swt. Maka ia tidak memisahkan antara Allah dan Rasul-Nya; antara firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Bagi orang yang berpaling dan mendustakan, urusan hijab dan pembalasannya terserah kepada Allah.[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar