Ayat 79
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا
أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا
وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan)
dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan
cukuplah Allah menjadi saksi.”
Di sini Tuhan
menyebut engkau, bukan hanya ditujukan kepada Rasul saja, melainkan kepada diri
tiap-tiap orang yang mukallaf. Rasul hanya jadi perantara untuk menyampaikan.
Yaitu bahwasanya nikmat dan rahmat Allah cukuplah diberikan kepada manusia di
ala mini. Tidak ada yang kurang. Sehingga pada asalnya, semuanya adalah baik.
Tuhan tidak memberikan yang buruk. Bahkan telah banyak ayat-ayat yang
menerangkan bahwa segala sesuatu di alam ini disediakan untuk manusia. Apalagi
manusia diberi akal dan disuruh berusaha. Maka jika manusia gagal, maka itu
adalah dari diri manusia itu sendiri. Baik karena kesia-siaan, atau masih belum
tahu dan belum berpengalaman. Yang terlebih-lebih wajib dijaga oleh manusia
adalah supaya dia mensyukuri nikmat Allah.
Kesalahan yang paling besar ialah
kalau tidak mensyukuri nikmat. Jiwamu “terbelakang” walaupun telah berlimpah
nikmat Allah kepada kamu, namun oleh karena kamu tidak mengenal apa yang
disebut dengan syukur nikmat, kamu akan tetap mengeluh. Oleh karena itu
janganlah menimpakan kesalahan kepada orang lain, tetapi selidikilah penyakit
yang ada dalam jiwamu sendiri.
“Dan kami telah utus kepada manusia
seorang rasul.” Maka Rasul itu telah mengajarkan
kepada kamu jalan yang baik, cita-cita yang mulia mnegeluarkan kamu dari gelap
gulita kepada terang benderang. Selamatlah kamu kalau ajarannya kamu ikuti dan
sengsaralah kamu karena tidak menaatinya, bahkan masih meragukan, dan mengeluh.
“Dan cukuplah Allah sebagai
penyaksi.” Artinya cukuplah Allah yang menjadi saksi, wahai
utusanKu! Allah menjadi saksi bahwa amanat itu telah engkau tunaikan dengan
baik. Yaitu memimpin manusia menuju jalan yang benar. Malah penderitaan engkau
lebih banyak dan engkau teguh hati, pantang mundur sehingga senanglah Allah
menyaksikan segala gerak-gerikmu. Dan tuduhan si lemah iman bahwa jika mereka
ditimpa kesusahan, adalah sebab kesalahanmu, tidak lain hanyalah karena
kebodohan dan kedangkalan berfikir mereka juga adanya.[1]
Sedangkan dalam Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthub menghubungkan ayat 79 an-Nisa’ ini dengan
persoalan “qadha’ dan “qadar” atau “jabar” dan “ikhtiyar”.
Sesungguhnya Allah telah membuat manhaj (aturan), membuat jalan,
menunjukkan kepada kebaikan, dan melarang keburukan. Maka apabila manusia
mengikuti manhaj, menempuh jalan ini, berusaha melakukan kebaikan, dan menjauhi
keburukan, niscaya Allah akan menolongnya untuk mendapatkan petunjuk
sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami
…” (al-‘Ankabut : 69).
Apabila manusia
tidak mengikuti manhaj yang telah dibuat Allah, maka ketika itu dia mendapatkan
kejelekan yang sebenarnya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kejelekan ini
adalah dari dirinya sendiri.[2]
Terwujudnya kebaikan dan kejelekan
itu tidak lain kecuali dengan kekuasaan dan qadar Allah, karena dialah yang
mengadakan segala sesuatu, yang mengadakan segala yang terjadi, dan menciptakan
segala yang ada apa pun kehendak dan tindakan orang yang bersangkutan terhadap
apa yang terjadi itu.
Sedangkan urusan manusia terhadap
Rasul ialah bahwa orang yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah swt.
Maka ia tidak memisahkan antara Allah dan Rasul-Nya; antara firman Allah dan
sabda Rasul-Nya. Bagi orang yang berpaling dan mendustakan, urusan hijab dan
pembalasannya terserah kepada Allah.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar